Ditulis dalam rangka memperingati 7 tahun kepergian mendiang Sang Maestro Puisi Indonesia
Orang yang hidup di jaman dulu pasti
pernah paham soal film yang sempat menghebohkan jagad layar lebar ketika itu.
Film bertajuk Yang Muda Yang Bercinta, sebuah film arahan Sumandjaja yang
naskahnya ditulis oleh Umar Kayam ini melambungkan nama Nani Wijaya dalam
belantika film layar lebar tanah air ketika itu. Film ini juga menyabet
penghargaan sebagai The Best Supporting Actress pada Citra Award. Film ini
pernah dicekal untuk beredar karena dinilai terlalu berani dalam menampilkan
adegan dewasa, juga dinilai berisi propaganda politik yang dianggap mengancam
rezim yang berkuasa ketika itu. Namun yang demikian kiranya alih-alih.
Adalah tersebut Sony, sebuah peran
anak muda yang diperankan oleh Wilibrodus Surendra Broto Rendra yang lebih
masyhur dikenal dengan WS Rendra, yang kemudian menjadi maestro puisi
Indonesia. Masih teringat jelas scene dimana Sony berdiri tegap dengan lantang
membacakan puisi berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa yang mengambil latar di kampus
Salemba Universitas Indonesia pada 1 Desember 1971. Adegan tersebut juga
menjadi salah satu adegan paling epik dalam film Yang Muda Yang Bercinta, di samping
nilai historisnya.
Si Burung Merak julukan Rendra memang
pantas disematkan kepada sang maestro puisi pemberontakan di tanah air. Imej
burung surga yang memiliki ekor dengan warna beragam nan indah memang layak
bagi sosok Rendra. Karyanya selalu menggugat nalar, monumental, menyadarkan
akal bangsa yang tersadai lama. Sajak-sajak Rendra biasa saja, sederhana, namun
padat makna dan mampu merepresentasikan keadaan karut marut suatu bangsa
berkembang. Tilik saja ketika dia menyindir kehidupan malam yang biasa dikonotasikan
dengan perempuan nakal. Sedikit plesetan dari slogan Partai Komunis Soviet, “Bersatulah
Para Buruh Sedunia”, maka Rendra dengan lantang menyuarakan versinya dengan “Bersatulah
Pelacur-pelacur Kota Jakarta”. Dia langsung masuk pada substansi perempuan yang
acapkali dikonotasikan negatif oleh masyarakat. Bahwa sejatinya ada prositusi
di jantung pemerintahan ibukota, yang notabene diasumsikan sebagai daerah orang
berkelas.
Penyair kelahiran Surakarta 7
November 1935 ini memang dikenal dengan gayanya yang khas ketika membacakan
puisi. Berapi-api tanpa kompromi. Mungkin di jaman pujangga baru, Chairil Anwar
yang jadi binatang jalangnya. Tapi di jaman posmodern ini dengan segala hiruk
pikuknya, Rendra-lah bintang jalangnya. Latar belakang teater yang digeluti
Rendra yang menjadikan talentanya terbungkus apik dan epik. Rendra merupakan
satu dari sekian banyak penyair yang mampu bercerita dengan kata-kata, pun
dengan ujaran, dengan berkoar-koar di masa Orde Baru, masa dimana kebebasan
berserikat dan berkumpul hanya jadi tulisan yang tercantum di Pasal 28 UUD 1945
dan wajib dihapal anak sekolah.
Puisi Rendra berjudul Sajak Pesan Pencopet
Kepada Pacarnya juga menarik untuk ditelisik. Bagaimana tergambar dalam puisi
itu, seorang pencopet yang masih punya hati nurani, sadar atas kelakuannya yang
salah dan tidak pantas ditiru kekasihnya, Sitti. Sekaligus kritik atas penguasa
yang seenaknya menggunakan kekuasaan untuk ketamakan pribadi. Rendra dengan
nakalnya menggambarkan tingkah polah pencopet yang juga manusia, punya hak
untuk insyaf kembali ke jalan yang lurus.
Rendra merupakan sosok penyair yang
jarang menggunakan metafora yang hiperbola dan mengawang-awang. Dia lebih jujur
menyuarakan kata pada makna aslinya. Membaca karya-karyanya sungguh menjadikan
diri ini kembali merenung. Apa inikah yang selama ini kita lakukan sebagai
manusia Indonesia yang dicirikan hipokrit oleh Muchtar Lubis. Manusia yang
punya sejuta wajah seperti slogan bhinneka tunggal muka.
Di masa 7 tahun sejak kepergian Sang
Burung Merak pada 6 Agustus 2009, saya ingin mengajak nalar bangsa ini agar kembali pada fitrahnya.
Menjadi bangsa yang memiliki maksud baik yang benar sesuai pesan Rendra: Lantas
maksud baik Saudara untuk siapa?
No comments:
Post a Comment