Thursday, August 18, 2016

Seeing is Believing




Potongan scene film Cinema Paradiso (1988)

Kalau ada yang pernah nonton film Now You See Me 2 rilis pada 2016 yang bercerita tentang pesulap yang disebut Four Horseman, yang selalu beratraksi tanpa diduga kapan dan dimana. Pastilah penonton itu pernah membaca kuotasi ini. Seeing is believing. Melihat adalah percaya. Sekilas memang kalimat kuna itu terkesan klasik, jadul, kuna, tidak kekinian, kurang gaul dan sebagainya. Tapi itu alih-alih.
Mari berpindah ke translasi Inggris ke Indonesia, agar mudah dipahami apa maksud kalimat di atas melalui pemahaman Indonesiawi. Entri kata melihat berasal dari kata lihat, yang menurut Kamus Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2008 bermakna menggunakan mata untuk memandang. Adapun entri kata percaya secara harfiah bermakna mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata. Ada dua hal menarik yang bisa dicermati dari dua entri kata tersebut, yaitu adanya kehadiran kasat indrawi yang diwakili indra penglihatan yakni mata untuk kemudian tunduk pada hal berikutnya yaitu yakin, yang sejatinya hanya mampu diwakili oleh hati.
Kalau mencermati secara historis, kuotasi seeing is believing tercatat ketika St. Thomas mengaklamasi tentang eksistensi Yesus Kristus yang tidak dapat dilihat oleh mata namun dapat dipercaya. Proverbia Latin ini dapat dijumpai di Paroemiologia Anglo-Latina, sebuah koleksi proverbial dalam bahasa Inggris dan Latin yang diterbitkan di London pada  tahun 1639 oleh John Clarke.
Adapun Google menafsirkan idiom seeing is believing dengan kategori proverbia; you need to see something before you can accept that it really exists or occurs. Anda harus melihat sesuatu hal sebelum menerima bahwa suatu hal itu adalah eksis atau terjadi. Sepertinya Google lebih rasional dalam hal ihwal indrawi. Mungkin karena Google tidak punya agama. Jadi sah-sah saja dia berceracau soal seeing is believing sama dengan seeing before believing. Bahwa seseorang itu mesti melihat hal yang kasat mata sebelum tindakan selanjutnya yaitu percaya. Entah darimana Google berargumentasi soal demikian. Aliran sekolah mana yang dia anut. Wallahu a’lam.
Namun tarik menarik antara kata melihat dan percaya ini merupakan suatu yang unik untuk dipahami. Timbul pertanyaan apakah sesuatu yang dipercaya itu harus kita lihat terlebih dahulu? Atau pertanyaan kosokbalinya, apakah sesuatu yang kita lihat itu harus kita percaya. Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, mari kita bahas satu persatu.
Pertanyaan yang sekaligus pernyataan pertama, apakah sesuatu yang dipercaya itu harus dilihat terlebih dahulu? Agaknya pertanyaan ini akan  terasa menyakitkan bagi orang buta, tuna netra. Orang buta tidak memiliki kemampuan layaknya manusia normal pada umumnya untuk sekedar menjawab pertanyaan sederhana ini. Namun orang buta punya mata hati untuk percaya pada hal yang belum pernah atau bahkan sama sekali tidak dilihatnya. Apakah konsep ketuhanan yang sejatinya merupakan konsep gaib harus diterjemahkan melalui mata? Hampir dipastikan jawabannya tidak. Orang percaya adanya cinta tanpa harus melihat apa itu cinta. Begitupun halnya dengan orang buta, yang juga berhak punya dan merasakan apa itu cinta, tanpa harus melihat eksistensi cinta secara realistis itu seperti apa bentuknya.
Adapun pertanyaan yang juga sekaligus pernyataan kedua, apakah sesuatu yang kita lihat itu harus kita percaya. Agaknya hal demikian kembali ke konsep diri yang dicetuskan oleh Everett Rogers pada 1959 bahwa apa yang kita lihat maka itulah yang kita percaya sebagai suatu realitas yang telah menjadi persepsi kognisi alam sadar. Sederhana memang, namun ruwet sejatinya. Orang takut kepada mati, namun belum ada bahkan tidak ada dalam fakta sejarah yang menyatakan bahwa ada orang yang pernah melihat kematian melalui indra mata. Namun manusia manapun harus dipaksa percaya kalau kematian itu adalah sesuatu yang mutlak terjadi pada siklus hidup manusia. Dia menjadi oposisi biner atas kehidupan.
Pernyataan awal memberikan penekanan bahwa proses melihat yang berarti proses aktif merupakan sebuah proses memercayai objek yang dilihat. Artinya bahwa suka atau tidak suka, kita dipaksa untuk percaya bahwa kita sudah menyaksikan suatu objek yang diyakini dan dibenarkan oleh hati sebagai penerjemah segala tindakan dan perasaan manusia. Ada satu kuotasi menarik yaitu ora che ho perso la vista, ci vedo di più /I can see much clearer now I’m blind/ Aku dapat melihat lebih jelas, sekarang aku buta, yang dapat ditemukan dalam scene film Cinema Paradiso tahun 1988 yang merupakan film besutan Giuseppe Tornatore. Dalam scene film itu ada seorang anak kecil yang ditutup matanya oleh seorang lelaki dewasa yang kemudian membacakan kalimat tersebut seperti sebuah jampi. Kemudian tak lama berselang si anak itu menjadi dewasa dan seperti mendapatkan pencerahan. Kalimat dalam film yang menyabet Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film ini kemudian dikutip oleh band progresif metal Amerika Serikat yaitu Dream Theater pada lagu Under Glass Moon di album Images and Words tahun 1992.
Entah apa maksud dari kalimat aku dapat melihat lebih jelas karena sekarang aku buta. Tapi yang jelas percayalah pada apa yang barusan kita lihat dalam tulisan ini. Seeing is believing.


                                                                           []

No comments:

Post a Comment