![]() |
Potongan scene film Cinema Paradiso (1988) |
Kalau ada yang pernah nonton film Now
You See Me 2 rilis pada 2016 yang bercerita tentang pesulap yang disebut Four
Horseman, yang selalu beratraksi tanpa diduga kapan dan dimana. Pastilah
penonton itu pernah membaca kuotasi ini. Seeing
is believing. Melihat adalah percaya. Sekilas memang kalimat kuna itu
terkesan klasik, jadul, kuna, tidak kekinian, kurang gaul dan sebagainya. Tapi
itu alih-alih.
Mari berpindah ke translasi Inggris
ke Indonesia, agar mudah dipahami apa maksud kalimat di atas melalui pemahaman
Indonesiawi. Entri kata melihat berasal dari kata lihat, yang menurut Kamus
Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2008 bermakna
menggunakan mata untuk memandang. Adapun entri kata percaya secara harfiah
bermakna mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata. Ada dua hal
menarik yang bisa dicermati dari dua entri kata tersebut, yaitu adanya
kehadiran kasat indrawi yang diwakili indra penglihatan yakni mata untuk
kemudian tunduk pada hal berikutnya yaitu yakin, yang sejatinya hanya mampu
diwakili oleh hati.
Kalau mencermati secara historis,
kuotasi seeing is believing tercatat
ketika St. Thomas mengaklamasi tentang eksistensi Yesus Kristus yang tidak
dapat dilihat oleh mata namun dapat dipercaya. Proverbia Latin ini dapat
dijumpai di Paroemiologia Anglo-Latina, sebuah koleksi proverbial dalam bahasa
Inggris dan Latin yang diterbitkan di London pada tahun 1639 oleh John Clarke.
Adapun Google menafsirkan idiom seeing is believing dengan kategori
proverbia; you need to see something
before you can accept that it really exists or occurs. Anda harus melihat
sesuatu hal sebelum menerima bahwa suatu hal itu adalah eksis atau terjadi.
Sepertinya Google lebih rasional dalam hal ihwal indrawi. Mungkin karena Google
tidak punya agama. Jadi sah-sah saja dia berceracau soal seeing is believing sama dengan seeing
before believing. Bahwa seseorang itu mesti melihat hal yang kasat mata
sebelum tindakan selanjutnya yaitu percaya. Entah darimana Google berargumentasi
soal demikian. Aliran sekolah mana yang dia anut. Wallahu a’lam.
Namun tarik menarik antara kata
melihat dan percaya ini merupakan suatu yang unik untuk dipahami. Timbul
pertanyaan apakah sesuatu yang dipercaya itu harus kita lihat terlebih dahulu?
Atau pertanyaan kosokbalinya, apakah sesuatu yang kita lihat itu harus kita
percaya. Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, mari kita bahas satu
persatu.
Pertanyaan yang sekaligus pernyataan
pertama, apakah sesuatu yang dipercaya itu harus dilihat terlebih dahulu?
Agaknya pertanyaan ini akan terasa
menyakitkan bagi orang buta, tuna netra. Orang buta tidak memiliki kemampuan
layaknya manusia normal pada umumnya untuk sekedar menjawab pertanyaan
sederhana ini. Namun orang buta punya mata hati untuk percaya pada hal yang
belum pernah atau bahkan sama sekali tidak dilihatnya. Apakah konsep ketuhanan
yang sejatinya merupakan konsep gaib harus diterjemahkan melalui mata? Hampir
dipastikan jawabannya tidak. Orang percaya adanya cinta tanpa harus melihat apa
itu cinta. Begitupun halnya dengan orang buta, yang juga berhak punya dan
merasakan apa itu cinta, tanpa harus melihat eksistensi cinta secara realistis
itu seperti apa bentuknya.
Adapun pertanyaan yang juga sekaligus
pernyataan kedua, apakah sesuatu yang kita lihat itu harus kita percaya.
Agaknya hal demikian kembali ke konsep diri yang dicetuskan oleh Everett Rogers
pada 1959 bahwa apa yang kita lihat maka itulah yang kita percaya sebagai suatu
realitas yang telah menjadi persepsi kognisi alam sadar. Sederhana memang,
namun ruwet sejatinya. Orang takut kepada mati, namun belum ada bahkan tidak
ada dalam fakta sejarah yang menyatakan bahwa ada orang yang pernah melihat
kematian melalui indra mata. Namun manusia manapun harus dipaksa percaya kalau
kematian itu adalah sesuatu yang mutlak terjadi pada siklus hidup manusia. Dia
menjadi oposisi biner atas kehidupan.
Pernyataan awal memberikan penekanan
bahwa proses melihat yang berarti proses aktif merupakan sebuah proses
memercayai objek yang dilihat. Artinya bahwa suka atau tidak suka, kita dipaksa
untuk percaya bahwa kita sudah menyaksikan suatu objek yang diyakini dan
dibenarkan oleh hati sebagai penerjemah segala tindakan dan perasaan manusia. Ada
satu kuotasi menarik yaitu ora che ho perso la vista, ci vedo di più /I can see
much clearer now I’m blind/ Aku dapat melihat lebih jelas, sekarang aku buta, yang
dapat ditemukan dalam scene film Cinema Paradiso tahun 1988 yang merupakan film
besutan Giuseppe Tornatore. Dalam scene film itu ada seorang anak kecil yang
ditutup matanya oleh seorang lelaki dewasa yang kemudian membacakan kalimat
tersebut seperti sebuah jampi. Kemudian tak lama berselang si anak itu menjadi
dewasa dan seperti mendapatkan pencerahan. Kalimat dalam film yang menyabet
Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film ini kemudian dikutip oleh band
progresif metal Amerika Serikat yaitu Dream Theater pada lagu Under Glass Moon
di album Images and Words tahun 1992.
Entah apa maksud dari kalimat aku
dapat melihat lebih jelas karena sekarang aku buta. Tapi yang jelas percayalah
pada apa yang barusan kita lihat dalam tulisan ini. Seeing is believing.
[]
No comments:
Post a Comment