Sederhana.
Itu kesan yang saya tangkap dari tukang nasi goreng di daerah Pabelan Kartasura. Sepintas jualan beliau biasa saja, namun ada hal yang membedakan dengan nasi goreng yang lain. Apa itu? Jawabannya adalah anglo. Ya, anglo. Mungkin istilah anglo agak asing bagi orang yang hidup di jaman modern ini. Anglo adalah perapian (dapur) kecil dengan arang sbg bahan bakarnya. Demikian penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sungguh rasa yang ditimbulkan dari si anglo memang berbeda ketimbang menggunakan kompor gas. Hal yang menjadi inspirasi untuk saya di tengah krisis dan demo penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah mengapa pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan penggunaan bahan bakar alternatif macam anglo. Toh anglo tidak memerlukan minyak tanah, bensin, atau pertamax sekalipun. Hemat. Praktis. Hasilnya pun sama. Bangsa ini terlalu malu dengan cara tradisional. Seakan entri kata tradisional memiliki tafsir kuno dan terkesan tidak mengikuti tren kekinian. Sungguh sebuah hal paradoks bahwa malu terhadap hal yang sejatinya adalah jatidiri bangsa sendiri secara turun temurun. Kalau bukan kita yang menjaga tradisi itu lantas siapa lagi kelak yang akan mewarisinya untuk generasi anak cucu di kemudian hari?
(gambar ilustrasi)
Itu kesan yang saya tangkap dari tukang nasi goreng di daerah Pabelan Kartasura. Sepintas jualan beliau biasa saja, namun ada hal yang membedakan dengan nasi goreng yang lain. Apa itu? Jawabannya adalah anglo. Ya, anglo. Mungkin istilah anglo agak asing bagi orang yang hidup di jaman modern ini. Anglo adalah perapian (dapur) kecil dengan arang sbg bahan bakarnya. Demikian penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sungguh rasa yang ditimbulkan dari si anglo memang berbeda ketimbang menggunakan kompor gas. Hal yang menjadi inspirasi untuk saya di tengah krisis dan demo penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah mengapa pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan penggunaan bahan bakar alternatif macam anglo. Toh anglo tidak memerlukan minyak tanah, bensin, atau pertamax sekalipun. Hemat. Praktis. Hasilnya pun sama. Bangsa ini terlalu malu dengan cara tradisional. Seakan entri kata tradisional memiliki tafsir kuno dan terkesan tidak mengikuti tren kekinian. Sungguh sebuah hal paradoks bahwa malu terhadap hal yang sejatinya adalah jatidiri bangsa sendiri secara turun temurun. Kalau bukan kita yang menjaga tradisi itu lantas siapa lagi kelak yang akan mewarisinya untuk generasi anak cucu di kemudian hari?
(gambar ilustrasi)
